Presiden Joko Widodo pertama kali mengumumkan perihal Undang Undang Cipta Kerja (UUCK) pada saat pidato pelantikan pada Oktober 2019. Pasca pengumuman Presiden, bermunculan isu-isu yang membuat masyarakat khawatir terkait risiko undang – undang tersebut terhadap lingkungan hidup. Misalnya penghapusan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Terdapat juga substansi yang menjadi titik kritis dari berbagai masyarakat karena memiliki kecenderungan untuk mempercepat proses perusakan lingkungan hidup, contoh RUU pertanahan, RUU perkelapasawitan, RUU minerba – Pasal 2.
Virtual series bertajuk “Aturan Turunan UU Cipta Kerja : Menelisik Komitmen Perlindungan Lingkungan Hidup” yang diselenggarakan oleh Katadata pada 10 Februari 2021, menghadirkan berbagai sudut pandang terkait Undang Undang Cipta Kerja ini dan Komitmennya Terhadap Lingkungan Hidup, yaitu dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Tim Serap Aspirasi Lingkungan Hidup, Direktur Eksekutif WALHI Nasional, dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Nur Hidayati selaku Direktur Eksekutif WALHI Nasional ikut menyampaikan kekhawatirannya terhadap undang-undang ini. Selain karena keterlibatan masyarakat yang dikurangi, terdapat juga kekhawatiran dimana di tengah kerusakan ekosistem dan penurunan daya dukung lingkungan hidup, proses - proses untuk memberikan kemudahan eksploitasi menjadi sangat berbahaya.
Berkaitan dengan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja, Tim Serap Aspirasi hadir di tengah-tengah masyarakat untuk menampung aspirasi dari berbagai lapisan masyarakat, memberikan rekomendasi atas RPP, lalu menyampaikan aspirasi dan rekomendasi tersebut kepada pemerintah. Prof Budi Mulyanto dari Tim Serap Aspirasi Lingkungan Hidup menyampaikan bahwa berbagai upaya serap aspirasi telah dilakukan yaitu dengan webinar dan diskusi dengan kelompok kepentingan. Tim Serap Aspirasi telah membuat 3 kali laporan dari aspirasi masyarakat yang tebal akumulasinya sekitar 3500 halaman. Setelah melalui berbagai pertimbangan, ada aspirasi yang diterima penuh, ada aspirasi yang substansinya diterima tapi diekspresikan dalam bentuk lain, ada juga aspirasi yang ditolak.
Di dalam virtual series Katadata ini, Prof Andri G Wibisana Ph.D sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyampaikan konsep ideal mengenai perizinan, sanksi, dan pengawasan. Perizinan yang ideal menurut Beliau adalah perizinan yang terintegrasi, selain itu persetujuan sebaiknya diartikan sedekat mungkin dengan izin (artinya merupakan objek sengketa Tata Usaha Negara (TUN) yang dapat dibatalkan oleh pengadilan, dapat diawasi dan dicabut). Sebaiknya terdapat juga konsekuensi jika sebuh persetujuan dicabut. Misalnya, konsekuensi jika persetujuan lingkungan dibatalkan/dicabut, maka perizinan berusaha menjadi kehilangan salah satu syaratnya, sehingga dapat dimintakan pembatakannya), konsekuensi jika “persetujuan pemerintah pusat/daerah” terkait limbah B3 dibatalkan/dicabut adalah tidak dimungkinkannya pengelolaan limbah B3, konsekuensi jika “persetujuan dari pemerintah pusat” dibatalkan/dicabut, maka tidak dimungkinkan adanya dumping. Di dalam izin tersebut juga sebaiknya memiliki baku mutu sendiri.
Konsep ideal mengenai sanksi dan pengawasan menurut Prof Andri G Wibisana Ph.D adalah melakukan perbaikan pada konsep paksaan pemerintah dan denda keterlambatan, dimana seharusnya isinya bukan hanya perintah, tetapi juga ancaman jika tidak melakukan apa yang diperintahkan oleh pemerintah dalam jangka waktu tertentu, pemerintah yang akan melakukan dengan biaya dan akibat yang ditanggung oleh si pelanggar.
Ary Sudijanto selaku Direktur Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK) menyampaikan bahwa mereka sudah mencoba untuk lebih spesifik dalam peraturan ini. Sebagai contoh, baku mutu air limbah dalam pengaturan kuota beban emisi. Kemampuan dari suatu sungai menerima limbah akan dilihat, lalu berdasarkan itu ditetapkan baku mutu spesifiknya. Setelah itu dilakukan persetujuan teknis baku mutu spesifik untuk suatu kegiatan terkait berapa beban dan konsentrasi limbah yang boleh dibuang ke sungai. Kemudian diatur konsep alokasi beban jika daya tampungnya sudah terlampaui.
Dengan hadirnya RPP maka dapat menjawab kekhawatiran keterbatasan penjelasan Undang – Undang Cipta Kerja ini dan semoga tidak mereduksi keterlibatan masyarakat. Konsep yang ada di PP yang disiapkan adalah pada saat penyusunan AMDAL, pemrakrasa melibatkan masyarakat terkena dampak langsung melalui proses pengumuman dan konsultasi publik. Pengumuman yang disampaikan oleh pemrakarsa tadi disampaikan kepada Tim Uji Kelayakan (TUK). TUK akan menerima masukan dari semua pihak masyarakat, lalu masukan yang relevan akan disampaikan kepada pemrakarsa untuk penyusunan kerangka acuan. Kemudian pada proses uji kelayakan, Tim Uji Kelayakan akan melibatkan masyarakat terkena dampak langsung dan masyarakat yang memberikan masukan yang relevan. Masyarakat akan tetap dilibatkan dalam proses penilaian AMDAL dan proses uji kelayakan.
Pemerintah daerah tetap memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 63 Ayat 2 dan 3. Di dalam RPP yang disiapkan, kewenangan pemerintah daerah tetap ada untuk persetujuan lingkungan; pengendalian dan pemeliharaan mutu air, udara, dan laut. Pemerintah pusat akan membuat sistem informasi baik untuk perizinan berusaha maupun dokumen lingkungan, sampai pengawasan dan penegakan hukum. Sistem informasi tersebut bisa dipakai oleh pemerintah daerah. Dari evaluasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK), ditemukan hanya 35 persen Kabupaten/Kota yang memiliki komisi penilai AMDAL terutama karena keterbatasan ahli. Dengan sistem yang sekarang, pemerintah pusat akan membentuk bank ahli untuk membantu pemerintah daerah. Sehingga harapannya tidak akan ada lagi Kabupaten/Kota yang tidak memiliki Tim Uji Kelayakan.
Di dalam RPP yang disiapkan, pemerintah daerah juga tetap diberikan kewenangan untuk persetujuan lingkungan; pengendalian dan pemeliharaan mutu air, udara, dan laut. Hal ini berkontribusi terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Pilar Pembangunan Lingkungan yang melingkupi Tujuan 6 (Air Bersih dan Sanitasi Layak), Tujuan 13 (Penanganan Perubahan Iklim), Tujuan 14 (Ekosistem Lautan), dan Tujuan 15 (Ekosistem Daratan). Pemerintah Pusat juga berkomitmen untuk membantu Kabupaten/Kota untuk memiliki Tim Uji Kelayakan penilai AMDAL dengan pembentukan bank ahli yang dapat disebar ke pemerintah daerah. Komitmen dan usaha ini sejalan dengan target dari Tujuan 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggungjawab) yaitu untuk mencapai pengelolaan bahan kimia dan semua jenis limbah yang ramah lingkungan di sepanjang siklus hidupnya, sesuai kerangka kerja internasional yang disepakati dan secara signifikan mengurangi pencemaran bahan kimia dan limbah tersebut ke udara, air, dan tanah untuk meminimalkan dampak buruk terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.
Referensi :
1. Kementrian PPN/Bappenas. Konsumsi dan Produksi yang Bertanggungjawab. Diambil dari : http://sdgs.bappenas.go.id/tujuan-12
Sumber Gambar :
Tata Cara Pelibatan Masyarakat Saat Penyusunan AMDAL oleh Ary Sudijanto selaku Direktur Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK). Diambil dari : https://www.youtube.com/watch?v=S7AbVsAiLmg
Kontributor: